Gegar budaya (culture shock) adalah suatu
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita
orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke suatu daerah
tertentu. Sebagaimana kebanyakan penyakit lainnya, gegar budaya juga mempunyai
gejala-gejala dan pengobatan secara tersendiri.
Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan
yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan
sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam
dalam mengendalikan diri sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari: kapan
berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang,
kapan bagaimana memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menerima dan
menolak undangan, kapan membuat pernyataan-pernyataan dengan sengguh-sungguh
dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin dalam bentuk
kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasan-kebiasaan, atau
norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Begitu
pula aspek-aspek budaya kita lainnya, seperti bahasa dan kepercayaan yang kita
anut. Demi ketentraman hidup kita semua bergantung pada beratus-ratus petunjuk
ini, petunjuk-petunjuk yang kebanyakannya tidak kita bawa dengan sadar.
Bila seseorang memasuki suatu budaya
asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Ia bagaikan ikan yang
keluar dari air. Meskipun anda berpikiran luas dan beritikad baik, anda akan
kehilangan pegangan. Lalu anda akan mengalami frustasi dan kecemasan. Biasanya
orang-orang menghadapi frustasi dengan cara yang hampir sama. Pertama-tama
mereka menolak lingkungan yang menyebabkan ketidak nyamanan. (Mulyana &
Rahmat,2001;174)
Menurut Stewart (1974) Komunikasi antar
budaya adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang
berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan. Dalam menjalani
proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya
yang berbeda dengan budaya kita. Menurut Dedi Mulyana dalam buku komunikasi
antar budaya mengatakan bahwa Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang
disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan
sosial.
Budaya berkenaan dengan cara manusia
hidup. Manusia belajar berpikir, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut
menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi,
tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan tekhnologi. Semua
itu berlandaskan pola-pola budaya . ada orang-orang yang berbicara bahasa
tagalog, memakan ular, menghindari minuman keras yang terbuat dari anggur,
menguburkan orang-orang yang mati, berbicara melalui telepon, atau meluncurkan
roket ke bulan, ini semua karena mereka telah dilahirkan atau
sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mengandung unsur-unsur
tersebut. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana
mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan
fungsi-fungsi dari budaya mereka.
Budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan diri, nilai, sikap, hirarki, agama, waktu,
peranan, hubungan ruang, makna, konsep alam semesta, objek-objek materi dan
milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi kegenerasi melalui
usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan
dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model
bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan
orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat disuatu lingkungan geografis
tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat
tertentu.
Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat
dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan
sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam
industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang,
menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial. Budaya berkesinambungan
dan hadir dimana-mana, budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima
selama periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur
fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar
pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin suatu cara
untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkan dengan komputer
elektronik: kita memprogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun
memprogram kita agar melakukan sesuatu yang menjadikan kita apa adanya. Budaya
kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati-dan
bahkan setelah matipun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan
budaya kita.
Budaya dan komunikasi tidak dapat
dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan
siapa, tentang apa, dan bagaimana orang yang menyandi pesan, maka yang ia
miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisi untuk mengirim, memperhatikan dan
menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung
pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan
komunikasi, bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula
praktik-praktik komunikasi.
Tahap
terjadinya Culture Shock
Furnham dan Bochner (1986) menggunakan
istilah berbeda bagi individu yang tinggal di kultur baru berdasarkan lamanya
ia tinggal. Turis adalah mereka yang tinggal di suatu kultur baru namun tidak
terlalu lama (kurang dari 6 bulan). Sedangkan mereka yang tinggal dalam waktu
lama dikenal dengan istilah sojourner (sekitar 6-bulan s.d. 5 tahun)
yang dibedakan dengan imigran yang tinggal selamanya di negara yang baru. Pada
saat seseorang memasuki kultur yang baru, ada beberapa tahap yang biasanya
dialami individu tersebut sehubungan dengan culture shock (Oberg
dalam Irwin, 2007; Guanipa, 1998). Tahap-tahap ini dikenal dengan istilah
U-Shape, Yaitu:
·
Tahap
Honey moon/ Euphoria/ Fun
Ini adalah saat pertama kali individu
datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung sekitar beberapa hari sampai
beberapa bulan. Pada masa ini individu masih terpesona dengan segala sesuatu
yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias, terhadap
kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaan-perbedaan budaya masih
dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Hal ini bisa dikatakan
sebagai masa pengalaman menjadi turis. Biasanya turis akan pulang sebelum masa
honeymoon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah berbagai hal
menyenangkan yang ia temui di tempat barunya. Namun bila seseorang tinggal di
tempat ini lebih lama, bisa jadi keadaan ini akan diikuti dengan menurunnya
suasana hati ketika individu sudah mulai mengalami persoalan-persoalan yang
muncul karena adanya keberbedaan budaya.
·
Tahap
Krisis yaitu: agresif/ regresi/Flight
Pada tahap berikutnya, individu seringkali
dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya yang ternyata dapat memicu
persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya sebelumnya.
Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah
pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal. Biasanya
individu-individu akan berpaling kepada teman-teman senegaranya, yang dianggap
lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki kultur
yang sama. Seringkali muncul pendewaan terhadap kultur asal, menganggap kultur
asalnya adalah kultur yang paling baik, dan mengkritik kultur barunya sebagai
kultur yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh. Kondisi mengkritik
kultur baru ini bisa termanifestasi dalam kebencian terhadap kultur baru,
menolak belajar bahasanya, terlibat dengan orang-orang di kultur baru tsb. Pada
masa ini juga muncul stereotip-stereotip tentang orang-orang dari kultur baru
yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk asli.
Oberg (dalam Irwin 2007) menyebut masa ini
sebagai masa krisis yang akan menentukan apakah individu akan tinggal atau
meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini pula bisa muncul keinginan regresi,
keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan kondisi-kondisi yang
ada di negri asalnya serta mendapatkan perlindungan dari orang-orang yang
memiliki kultur yang sama.
·
Proses
Adjustment
Bila individu bertahan di dalam krisis,
maka individu akan masuk pada tahap ketiga. Tahap ini terjadi apabila individu
mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini, individu mulai
memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara kultur aslinya dan
kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai paham bagaimana cara
menggunakan teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan yang lebih cocok
dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai
menemukan arah untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di
tempat barunya dengan rasa humor.
Adler (1975) mengelaborasi konsep ini
seperti dikembangkan dalam Furnham dan Bochner (1986), bahwa pertama-tama
individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses
disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan
antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap
kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur
baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu
menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan
akhirnya ia mencapai tahap kemandirian, dimana ia mampu menciptakan makna dari
berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada akhirnya bisa dinikmati dan
diterima.
·
Fit/Integration.
Periode berikutnya terjadi apabila
individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik maupun hal
yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini akan terjadi
proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru,
dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan
memiliki. Ini memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri.
·
Re-entry
shock
Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat
individu kembali ke negri asalnya. Individu mungkin menemukan bahwa cara
pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi sama seperti dulu. Dan pada masa
inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap kulturnya yang lama sebagaimana
ia dulu memasuki kultur yang baru. Dalam penelitian Gaw (2000) ditemukan bahwa
individu yang kembali ke dalam negrinya dan mengalami re-entry culture
shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri
dan mengalami masalah rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re-entry
culture shock yang rendah.
Masing-masing tahap bukan berarti selalu
dijalani secara urut ke jenjang berikutnya. Sangat mungkin bahwa individu yang
telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali mengalami jenjang sebelumnya
ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam penyesuaian dirinya.
Faktor
penyebab culture shock
Fenomena culture shock bersifat
kontekstual dan dialami dengan berbeda-beda dari generasi ke generasi
berikutnya. Faktor yang mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan
sangat spesifik tergantung pada di daerah mana individu tersebut berasal, di
daerah mana individu berada, serta pada tahun atau masa seperti apa, akan
sangat bervariasi.
Ketakutan merupakan faktor terbesar yang
mendorong timbulnya kecemasan ketika individu mengetahui akan menempati tempat
yang berbeda dalam jangka waktu yang tidak singkat. Ketakutan ini akan
menimbulkan sebuah kecemasan dan akan menjalar kepada rasa percaya diri yang
kurang. Dengan rasa percaya diri yang kurang tersebut individu akan cenderung
memperoleh hasil yang kurang maksimal dalam berinteraksi atau berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Inilah yang kemudian harus segera
diatasi agar tidak menjadi berkelanjutan.
Menurut pendapat Parrillo (2008) yang
diperoleh dari situs menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi culture
shock yaitu:
1) Faktor
pergaulan
Pada faktor ini, individu cenderung
mengalami ketakutan akan perbedaan pergaulan disetiap tempat yang baru.
Ketakutan ini menjadikan individu merasa canggung dalam menghadapi situasi yang
baru, tempat tinggal yang baru dan suasana yang baru. Akibat ketidak pahaman
mengenai pergaulan ini, individu juga akan merasa terasing dengan orang-orang
disekelilingnya yang dirasa baru baginya.
2) Faktor
teknologi
Dewasa ini perkembangan teknologi semakin
melaju pesat. Perkembangan teknologi yang semakin mutakhir ini menyebabkan
masyarakat harus selalu ingin berusaha untuk mengikuti perkembangan teknologi
agar mampu bersaing di dunia global. Teknologi juga merupakan faktor penting
dalam mempengaruhi timbulnya masalah culture shock. Individu merasa takut tidak
bisa mengikuti perkembangan teknologi di tempat tinggal barunya sehingga
individu cenderung akan merasakan ketakutan. Individu disini dituntut untuk
berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi
serta mampu mengaplikasikannya dikehidupannya.
3) Faktor
geografis
Faktor geografis identik dengan keadaan
geografis di daerah tersebut. Faktor geografis ini merupakan faktor lingkungan
secara fisik, misalnya perbedaan cuaca, perbedaan letak wilayah seperti daerah
pantai dengan daerah pegunungan. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut
mengalami gangguan kesehatan.
4) Faktor
bahasa keseharian
Bahasa merupakan cerminan dari sebuah
kebudayaan yang beradab. Bahasa tidak bisa dianggap dengan sebelah mata dewasa
ini. Individu yang mengalami kekagetan terhadap budaya baru sering kali
dihubungkan dengan faktor bahasa sebagai salah satu ketakutan yang cukup besar
ketika akan menetap ditempat yang baru. Tidak menguasai atau bahkan tidak
mengerti sama sekali bahasa merupakan suatu hal yang wajar yang menyebabkan
timbulnya culture shock.
5) Faktor
ekonomi
Ketakutan terhadap biaya hidup yang
berbeda yang memiliki kemungkinan lebih tinggi merupakan salah satu faktor
penyebab timbulnya culture shock. Ini merupakan hal umum yang terjadi bahwa
setiap daerah di negara Indonesia memiliki kemampuan konsumsi yang
berbeda-beda. Perbedaan inilah yang menyebabkan individu guncang ketika
dihadapkan pada permasalahan tempat tinggal yang baru. Individu harus mulai
berusaha, bersiap serta berwaspada mengantisipasi agar mampu bertahan hidup
ditempat tinggal yang baru.
6) Faktor
adat istiadat
Faktor ini merujuk pada tradisi-tradisi
yang biasa dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah yang notebene memiliki
ciri khas kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Untuk itu individu harus
mampu beradaptasi dengan adat istiadat di daerahnya yang baru. Namun
beradaptasi dengan adat istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi seorang
pendatang, maka individu cenderung mengalami kekagetan budaya terutama dalam
hal adat istiadat tersebut.
7) Faktor
agama
Agama dianggap sebagai salah satu
penghambat individu dalam usahanya menyesuaikan di tempat tinggal yang baru.
Individu mengalami ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi perbedaan
yang sangat rentan dan tidak bisa disatukan dengan mudahnya.
Solusi
Pemecahan Masalah Culture shock
Dari bebrapa faktor penyebab terjadinya
culture shock, kelompok merumuskan solusi untuk mengatasinya. Antara lain
yaitu :
·
Faktor pergaulan
Individu harus belajar membiasakan diri
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan barunya, dengan pembiasaan ini
akan menumbuhkan rasa percaya diri dari individu tersebut dalam bersosialisasi
dengan orang-orang dan lingkungan barunya tersebut. Pergaulan yang baik akan
membuat seseorang lebih mudah menjalani kehidupan sosialnya.
·
Faktor teknologi
Dewasa ini teknologi semakin berkembang
pesat dikalangan orang banyak, semakin pesat teknologi berkembang maka
orang-orang dituntut untuk semakin keras mempelajari dan mengaplikasikan
teknologi yang ada dalam kehidupannya. Seorang individu yang berada di
lingkungan baru baginya pasti akan merasakan perbedaan teknologi yang
berkembang di lingkungan tersebut, terlebih lagi apabila individu yang berasal
dari daerah pelosok kemudian datang ke daerah yang cukup pesat perkembangan
teknologinya.
·
Faktor geografis
Karena faktor geografis ini berkaitan erat
dengan kondisi fisik lingkungan maka hal ini dapat diatasi dengan cara individu
lebih menjaga kesehatan yang cenderung menurun ketika individu tersebut tinggal
di suatu tempat tinggal yang baru, yang tentunya jauh berbeda dengan tempat
tinggal semula. Pencegahan yang baik perlu dilakukan secara terus menerus agar
individu tetap berada di kondisi yang prima dalam menjalani aktifitas
sehari-hari.
·
Faktor bahasa keseharian
Untuk mengatasinya kelompok memberikan
solusi diantaranya yaitu dengan menumbuhkan kemauan belajar bahasa kepada
setiap individu ketika tinggal ditempat yang baru. Kemauan belajar bahasa
tersebut bisa dilakukan dengan cara meminta bantuan kepada teman yang memang
berasal dari daerah tersebut untuk mengajarkan bahasa keseharian di daerah
tersebut.
·
Faktor ekonomi
Faktor ekonomi ini dapat diatasi dengan
cara pengelolaan keuangan yang baik sesuai dengan kebutuhan masing-masing
individu, agar individu dapat menyesuaikan pemasukan keuangan dengan
pengeluarannya. Pada saat proses pendidikan alan lebih baiknya individu juga
melakukan program saving money, untuk mengatasi kebutuhan tidak terduga.
·
Faktor adat istiadat
Pada dasarnya melekatnya kebudayaan
terhadap seorang individu membutuhkan proses dan waktu, semua tidak terjadi
begitu saja. Solusi menurut kelompok adalah individu harus lebih membuka
dirinya terhadap adat istiadat, kebiasaan, tingkah laku yang umumnya terjadi
dimasyarakat. Dengan cara tersebut diharapkan individu dapat lebih menghindari
terjadinya culture shock/gegar budaya.
·
Faktor agama
Solusinya yaitu individu harus lebih
meningkatkan sikap toleransinya antar umat beragama.
Masalah
Penyesuaian Diri Dalam Lingkungan Budaya
Penyesuaian
diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku
individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan
lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut dapat diberikan batasan
bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang
menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri.
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai
fungsi sebagai penentu primer terhadap penyesuaian diri. Penentu berarti faktor
yang mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada proses penyesuaian
diri. Penentu penyesuaian diri identik dengan faktor-faktor yang mengatur
perkembangan dan terbentuknya pribadi secara bertahap. Penentu-penentu itu
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kondisi-kondisi
fisik, termasuk didalamnya keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf,
kelenjar, dan system otot, kesehatan, penyakit, dsb.
2. Perkembangan
dan kematangan, khususnya kematangan intelektual, social, moral, dan emosional.
3. Penentuan
psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajarnya, pengkondisian,
penentuan diri, frustasi, dan konflik.
4. Kondisi
lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah.
5. Penentuan
cultural termasuk agama
Contoh
:
·
Penyesuaian
diri remaja dengan kehidupan disekolah
Penyesuaian diri remaja dengan kehidupan
disekolah. Permasalahan penyesuaian diri di sekolah mungkin akan timbul ketika
remaja mulai memasuki jenjang sekolah yang baru, baik sekolah lanjutan pertama
maupun sekolah lanjutan atas. Mereka mungkin mengalami permasalahan penyesuaian
diri dengan guru- guru, teman, dan mata pelajaran. Sebagai akibat antara lain
adalah prestasi belajar menjadi menurun dibanding dengan prestasi disekolah
sebelumnya.
Persoalan-persoalan umum yang seringkali
dihadapi remaja antara lain memilih sekolah. Jika kita mengharapkan remaja
mempunyai penyesuaian diri yang baik, seyogyanya kita tidak mendikte mereka
agar memilih jenis sekolah tertentu sesuai keinginan kita. Orangtua / pendidik
hendaknya mengarahkan pilihan sekolah sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
sifat-sifat pribadinya. Tidak jarang terjadi anak tidak mau sekolah, tidak mau
belajar, suka membolos, dan sebagainya karena ia dipaksa oleh orangtuanya untuk
masuk sekolah yang tidak ia sukai.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar
proses penyesuaian diri remaja khususnya di sekolah adalah:
1. Menciptakan
situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “ betah” (at home) bagi anak-anak
didik , baik secara social , fisik maupun akademis.
2. Menciptakan
suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak.
3. Usaha
memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, social , maupun
seluruh aspek pribadinya.
4. Menggunakan
metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah belajar.
5. Menggunakan
prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
6. Ruang
kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
7. Peraturan
/ tata tertib yamg jelas dan dapat dipahami oleh siswa.
8. Teladan
dari para guru dalam segi pendidikan.
9. Kerja
sama dan saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan
pendidikan di sekolah.
10. Pelaksanaan program
bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.
11. Situasi kepemimpinan yang
penuh saling pengertian dan tanggung jawab baik pada murid maupun pada guru.
12. Hubungan yang baik dan
penuh pengertian antara sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat
·
Penggunaan
Media Sosial
Facebook
adalah sebuah layanan jejaring sosial dan situs web diluncurkan pada
Februari 2004 yang dioperasikan dan dimiliki oleh Facebook, Inc. Pada Januari 2011,
Facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif. Facebook didirikan oleh Mark
Zuckerberg bersama teman sekamarnya dan sesama mahasiswa ilmu komputer Eduardo Saverin, Dustin
Moskovitz dan Chris Hughes. Keanggotaan situs web ini awalnya
terbatas untuk mahasiswa harvard saja, kemudian diperluas ke
perguruan lain di Boston, Ivy League, dan Universitas Stanford.
Situs ini secara perlahan membuka diri kepada mahasiswa di universitas lain
sebelum dibuka untuk siswa sekolah menengah atas dan akhirnya untuk setiap
orang yang berusia minimal 13 tahun.
Studi Compete.com bulan
Januari 2009 menempatkan Facebook sebagai layanan jejaring sosial paling
banyak digunakan menurut pengguna aktif bulanan di seluruh dunia. Untuk
media sosial, eksistensi Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi. Hingga saat
ini Indonesia adalah negara dengan peringkat kedua pengguna Facebook terbanyak
dengan lebih dari 36 juta user , yang tercatat dalam situs socialbakers.com.
Peringkat pertamanya tentu saja diduduki oleh Amerika Serikat.
Sejak
dibentuk pada tahun 2006 oleh Jack Dorsey, Twitter telah mendapatkan
popularitas di seluruh dunia dan saat ini memiliki lebih dari 100 juta
pengguna. Semua pengguna dapat mengirim dan menerima kicauan melalui situs
Twitter, aplikasi eksternal yang kompatibel (telepon seluler) atau dengan pesan
singkat (SMS) yang tersedia di negara-negara tertentu. Situs ini berbasis di
San Bruno, California dekat San Francisco, di mana situs ini pertama kali dibuat.
Pada media sosial Twitter, Indonesia juga termasuk salah satu negara
yang banyak mendapat sorotan. Memang hampir tidak ada catatan resmi tentang
peringkat negara dengan user terbanyak, karena pihak Twitter sendiri terlihat
sangat tertutup dengan masalah ini. Tapi, banyak dan aktifnya user Twitter di
Indonesia terbukti dengan seringnya Indonesia masuk ke dalam “Trending Topic”.
Memang fenomena Twitter di Indonesia belum seperti Facebook. Namun trend
penggunaan jejaring sosial ini di Indonesia masih sangat berpotensi untuk
berkembang karena dalam siklus gegar budaya, penggunaan Twitter ini masih
berada pada tahap awal.
·
Contoh
Lingkungan kerja (Sumber: Imam Kamarudin Saleh)
saya saat ini bekerja di Korindo, sebuah
Holding company punya orang korea. Korindo itu lini usahanya banyak mulai dari
plywood, timber plantation, kertas koran, truk dan bus, hingga stasiun TV. saya
alhamdulillah ditakdirkan untuk jadi salah satu staff Purchasing di sana,
tanggung jawabnya untuk mengatur masalah pembelian kebutuhan untuk pabrik
Korindo Motors [yg memproduksi bus untuk trans jakarta].
Lupakan sejenak tentang perusahaan Korindo
ini. ada hal yg lebih penting untuk dibagi di sini. yah tentunya buat
fresh graduate seperti saya, dapat kerja itu hal yang menggembirakan dan
sangat disyukuri. bagaimana tidak, dgn IPK yg pas-pasan, syukur alhamdulillah
saya bisa dapat kerja tanpa harus menunggu waktu yg lama. namun setiap hal ada
ujian yg menyertainya. ujian itu bernama culture shock dunia kerja.
saya sedang mengalami masa peralihan,
culture shock dan semacamnya. peralihan dari zona nyaman mahasiswa ke zona yg
penuh tantangan di dunia kerja. selayaknya manusia, pasti pengennya yg enak2
aja kan dalam hidupnya. klo perlu gak usah kerja tapi duit tetep ada. hehehe tp
bukan kah hidup seperti itu bukan hidup yg sebenarnya, yg kemungkinan besar
hanya ada di dunia bawah sadar atau angan-angan saja. realita di lapangan
setiap angkatan kerja baru ini [seperti saya] yang memang tidak disiapakan
sebagai tenaga kerja siap pakai dan siap guna akan mengalami culture shock
dalam dunia kerja yang dinamis. mungkin ketika kuliah mahasiswa sering terlena
oleh ritme kuliah yg cenderung teratur dan agak santai. tapi di dunia kerja
[khususnya di perusahaan korea dan jepang] ritme kerja akan sangat dinamis,
kadang pekerjaan itu ada dan menumpuk tapi juga kadang sama sekali gak ada.
kadang kita di tuntut untuk kerja cepat kadang juga kita bisa nyantai
senyatai-nyatainya. so perlu siasat yg baik supaya daily activity ada dan bisa
dinilai baik oleh rekan kerja dan atasa kita.
Itu baru dari ritme kerja, belum lagi dari
membangun komunikasi dgn atasan, rekan kerja, atau bahkan bawahan [biasanya sih
seorang fresh graduate jarang yg punya langsung bawahan] akan menjadi ‘seni’
tersendiri yang akan dihadapi. bekerja di PMA (perusahaan modal asing) butuh
memahami budaya orang asing atau expatriate di sana. ambil contoh di Korindo yg
mayoritas orang korea, nah kita mesti tau nih gimana budaya orang korea. as we
know that all man in south korea must join military training for 2 years. so
efek dari wajib militer ini terbawa oleh mereka kedalam dunia kerja. mereka
jadi lebih disiplin dan amat menghargai waktu. itulah kenapa mereka jalannya
suka cepet, n suka nyuruh kita kerja cepet jg [curcol]. dan ada juga keburukan
[menurut saya] dari wajib militer ini, yaitu senioritas. orang korea juga
gak suka dibantah di depan umum. Nah kalau kita sudah tau budaya mereka,
karakter mereka maka kita juga harus bisa memposisikan diri kita sebaik mungkin
dalam berinteraksi dgn mereka.
Kemudian dengan rekan kerja juga kita
harus banyak berkomunikasi. krn bagaimanapun posisi kita itu masih newbie, jadi
belum tau apa – apa. maka kita harus rajin nanya, gak malu minta bantuan.
tentunya dengan tahu etika sopan santun dan tahu timing minta bantuan yah
jangan orang lagi sibuk kita minta bantuin lg. hehehe yah rekan kerja kita juga
kan gak semuanya sarjana, apalagi yg udah senior2 nih kita juga mesti bisa menjalin
komunikasi dengan baik. maklum bagaimanapun mereka mungkin seumuran dgn bapakk
kita kan. Oia menjalin komunikasi juga mesti punya batasan yah, diusahakan
jangan masuk ke ranah pribadi masing2.
culture shock yg kedua terkait dengan pola
hidup. seperti pola makan, pola jam tidur atau istirahat juga olah raga.
apalagi untuk yang bekerja di kantoran seperti saya ini, kebanyakan aktivitas
kita selama 8 jam kerja akan dihabiskan di tempat duduk dan mungkin di depan
komputer, jadi menjaga kesehatan mutlak dibutuhkan.
Penutup
Seiring dengan issue globalisasi baik di
bidang pendidikan maupun di bidang tenaga kerja, yang mengharuskan individu untuk
berinteraksi dengan budaya yang berbeda, issue mengenai culture
shock tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada sebelumnya.
Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena culture shock bisa
menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin
sering melakukan aktifitas lintas budaya.
Usaha untuk mengatasi culture shock,
akhirnya tidak hanya harus dilakukan individu secara perseorangan, tetapi juga
perlu ditangani secara professional dan serius oleh instansi atau lembaga yang
terlibat dalam pertukaran antar budaya. Misalnya saja di sekolah internasional,
yang memiliki siswa-siswa dari budaya yang berbeda tampaknya perlu menyediakan
tenaga konselor dan program yang terarah untuk membantu penyesuaian diri siswa-siswi
yang berasal dari budaya yang berbeda. Perhatian juga diperlukan bagi
perusahaan yang memiliki para ekspatriat ataupun mengirimkan karyawannya untuk
ditugaskan di tempat yang berbeda dari kultur asalnya, dengan pemberian
pelatihan, pemahaman dan training yang sesuai, demi tercapainya produktifitas
kerja karyawannya karena terbebas dari culture shock. Pada akhirnya, usaha
dari berbagai pihak diharapkan dapat membuahkan hasil yang lebih memuaskan.
Referensi:
·
Irwanto dkk. (1997). Psikologi Umum,
Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
·
Xia, Junzi. (1999). Analysis of
Impact Culture Shock on Individual Psychology, Vol 1, No. 2.
·
Adler, P. 1975. The Transitional
Experience: An Alternative View of Culture Shock. Journal of Humanistic
Psychology 15, 13-23.
·
Chapman, A. 2005. Culture Shock and the
International Sutdent “Offshore”. Journal of Research in International
Education, 4, 23-42.
·
Furnham, A. & Bochner, S. 1986. Culture
Shock: Psychological Reactions to Unfamiliar Environments. New York: Methuen.
·
https://jembatandunia.wordpress.com/2011/04/24/kerja-kerja-mengatasi-culture-shock-dunia-kerja/ (Akses 8 Juni 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar