Kamis, 07 Juni 2018

Culture Shock, Materi, Contoh


Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke suatu daerah tertentu. Sebagaimana kebanyakan penyakit lainnya, gegar budaya juga mempunyai gejala-gejala dan pengobatan secara tersendiri.
Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam dalam mengendalikan diri sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari: kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan bagaimana memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menerima dan menolak undangan, kapan membuat pernyataan-pernyataan dengan sengguh-sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Begitu pula aspek-aspek budaya kita lainnya, seperti bahasa dan kepercayaan yang kita anut. Demi ketentraman hidup kita semua bergantung pada beratus-ratus petunjuk ini, petunjuk-petunjuk yang kebanyakannya tidak kita bawa dengan sadar.
Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun anda berpikiran luas dan beritikad baik, anda akan kehilangan pegangan. Lalu anda akan mengalami frustasi dan kecemasan. Biasanya orang-orang menghadapi frustasi dengan cara yang hampir sama. Pertama-tama mereka menolak lingkungan yang menyebabkan ketidak nyamanan. (Mulyana & Rahmat,2001;174)
Menurut Stewart (1974) Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan. Dalam menjalani proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya yang berbeda dengan budaya kita. Menurut Dedi Mulyana dalam buku komunikasi antar budaya mengatakan bahwa Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial.
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan tekhnologi. Semua itu berlandaskan pola-pola budaya . ada orang-orang yang berbicara bahasa tagalog, memakan ular, menghindari minuman keras yang terbuat dari anggur, menguburkan orang-orang yang mati, berbicara melalui telepon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini semua karena mereka telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mengandung unsur-unsur tersebut. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi dari budaya mereka.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan diri, nilai, sikap, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, makna, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi kegenerasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat disuatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.
Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial. Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana, budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkan dengan komputer elektronik: kita memprogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun memprogram kita agar melakukan sesuatu yang menjadikan kita apa adanya. Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati-dan bahkan setelah matipun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang yang menyandi pesan, maka yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisi untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi, bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.

Tahap terjadinya Culture Shock
Furnham dan Bochner (1986) menggunakan istilah berbeda bagi individu yang tinggal di kultur baru berdasarkan lamanya ia tinggal. Turis adalah mereka yang tinggal di suatu kultur baru namun tidak terlalu lama (kurang dari 6 bulan). Sedangkan mereka yang tinggal dalam waktu lama dikenal dengan istilah sojourner (sekitar 6-bulan s.d. 5 tahun) yang dibedakan dengan imigran yang tinggal selamanya di negara yang baru. Pada saat seseorang memasuki kultur yang baru, ada beberapa tahap yang biasanya dialami individu tersebut sehubungan dengan culture shock (Oberg dalam Irwin, 2007; Guanipa, 1998). Tahap-tahap ini dikenal dengan istilah U-Shape, Yaitu:

·         Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun
Ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias, terhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaan-perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Hal ini bisa dikatakan sebagai masa pengalaman menjadi turis. Biasanya turis akan pulang sebelum masa honeymoon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah berbagai hal menyenangkan yang ia temui di tempat barunya. Namun bila seseorang tinggal di tempat ini lebih lama, bisa jadi keadaan ini akan diikuti dengan menurunnya suasana hati ketika individu sudah mulai mengalami persoalan-persoalan yang muncul karena adanya keberbedaan budaya.

·         Tahap Krisis yaitu: agresif/ regresi/Flight
Pada tahap berikutnya, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal. Biasanya individu-individu akan berpaling kepada teman-teman senegaranya, yang dianggap lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki kultur yang sama. Seringkali muncul pendewaan terhadap kultur asal, menganggap kultur asalnya adalah kultur yang paling baik, dan mengkritik kultur barunya sebagai kultur yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh. Kondisi mengkritik kultur baru ini bisa termanifestasi dalam kebencian terhadap kultur baru, menolak belajar bahasanya, terlibat dengan orang-orang di kultur baru tsb. Pada masa ini juga muncul stereotip-stereotip tentang orang-orang dari kultur baru yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk asli.  
Oberg (dalam Irwin 2007) menyebut masa ini sebagai masa krisis yang akan menentukan apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini pula bisa muncul keinginan regresi, keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan kondisi-kondisi yang ada di negri asalnya serta mendapatkan perlindungan dari orang-orang yang memiliki kultur yang sama.

·         Proses Adjustment 
Bila individu bertahan di dalam krisis, maka individu akan masuk pada tahap ketiga. Tahap ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini, individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara kultur aslinya dan kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai paham bagaimana cara menggunakan teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan yang lebih cocok dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa humor.
Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam Furnham dan Bochner (1986), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian, dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada akhirnya bisa dinikmati dan diterima.    

·         Fit/Integration.
Periode berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan memiliki. Ini memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri.

·         Re-entry shock
Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke negri asalnya. Individu mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi sama seperti dulu. Dan pada masa inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru. Dalam penelitian Gaw (2000) ditemukan bahwa individu yang kembali ke dalam negrinya dan mengalami re-entry culture shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami masalah rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re-entry culture shock yang rendah.

Masing-masing tahap bukan berarti selalu dijalani secara urut ke jenjang berikutnya. Sangat mungkin bahwa individu yang telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali mengalami jenjang sebelumnya ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam penyesuaian dirinya.

Faktor penyebab culture shock
Fenomena culture shock bersifat kontekstual dan dialami dengan berbeda-beda dari generasi ke generasi berikutnya. Faktor yang mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan sangat spesifik tergantung pada di daerah mana individu tersebut berasal, di daerah mana individu berada, serta pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat bervariasi.
Ketakutan merupakan faktor terbesar yang mendorong timbulnya kecemasan ketika individu mengetahui akan menempati tempat yang berbeda dalam jangka waktu yang tidak singkat. Ketakutan ini akan menimbulkan sebuah kecemasan dan akan menjalar kepada rasa percaya diri yang kurang. Dengan rasa percaya diri yang kurang tersebut individu akan cenderung memperoleh hasil yang kurang maksimal dalam berinteraksi atau berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Inilah yang kemudian harus segera diatasi agar tidak menjadi berkelanjutan.
Menurut pendapat Parrillo (2008) yang diperoleh dari situs menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi culture shock yaitu:
1)      Faktor pergaulan
Pada faktor ini, individu cenderung mengalami ketakutan akan perbedaan pergaulan disetiap tempat yang baru. Ketakutan ini menjadikan individu merasa canggung dalam menghadapi situasi yang baru, tempat tinggal yang baru dan suasana yang baru. Akibat ketidak pahaman mengenai pergaulan ini, individu juga akan merasa terasing dengan orang-orang disekelilingnya yang dirasa baru baginya.
2)      Faktor teknologi
Dewasa ini perkembangan teknologi semakin melaju pesat. Perkembangan teknologi yang semakin mutakhir ini menyebabkan masyarakat harus selalu ingin berusaha untuk mengikuti perkembangan teknologi agar mampu bersaing di dunia global. Teknologi juga merupakan faktor penting dalam mempengaruhi timbulnya masalah culture shock. Individu merasa takut tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi di tempat tinggal barunya sehingga individu cenderung akan merasakan ketakutan. Individu disini dituntut untuk berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi serta mampu mengaplikasikannya dikehidupannya.
3)      Faktor geografis
Faktor geografis identik dengan keadaan geografis di daerah tersebut. Faktor geografis ini merupakan faktor lingkungan secara fisik, misalnya perbedaan cuaca, perbedaan letak wilayah seperti daerah pantai dengan daerah pegunungan. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut mengalami gangguan kesehatan.
4)      Faktor bahasa keseharian
Bahasa merupakan cerminan dari sebuah kebudayaan yang beradab. Bahasa tidak bisa dianggap dengan sebelah mata dewasa ini. Individu yang mengalami kekagetan terhadap budaya baru sering kali dihubungkan dengan faktor bahasa sebagai salah satu ketakutan yang cukup besar ketika akan menetap ditempat yang baru. Tidak menguasai atau bahkan tidak mengerti sama sekali bahasa merupakan suatu hal yang wajar yang menyebabkan timbulnya culture shock.
5)      Faktor ekonomi
Ketakutan terhadap biaya hidup yang berbeda yang memiliki kemungkinan lebih tinggi merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya culture shock. Ini merupakan hal umum yang terjadi bahwa setiap daerah di negara Indonesia memiliki kemampuan konsumsi yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang menyebabkan individu guncang ketika dihadapkan pada permasalahan tempat tinggal yang baru. Individu harus mulai berusaha, bersiap serta berwaspada mengantisipasi agar mampu bertahan hidup ditempat tinggal yang baru.
6)      Faktor adat istiadat
Faktor ini merujuk pada tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah yang notebene memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Untuk itu individu harus mampu beradaptasi dengan adat istiadat di daerahnya yang baru. Namun beradaptasi dengan adat istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi seorang pendatang, maka individu cenderung mengalami kekagetan budaya terutama dalam hal adat istiadat tersebut.
7)      Faktor agama
Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam usahanya menyesuaikan di tempat tinggal yang baru. Individu mengalami ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi perbedaan yang sangat rentan dan tidak bisa disatukan dengan mudahnya.

Solusi Pemecahan Masalah Culture shock
Dari bebrapa faktor penyebab terjadinya culture shock,  kelompok merumuskan solusi untuk mengatasinya. Antara lain yaitu :
·         Faktor pergaulan
Individu harus belajar membiasakan diri beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan barunya, dengan pembiasaan ini akan menumbuhkan rasa percaya diri dari individu tersebut dalam bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan barunya tersebut. Pergaulan yang baik akan membuat seseorang lebih mudah menjalani kehidupan sosialnya.
·         Faktor teknologi
Dewasa ini teknologi semakin berkembang pesat dikalangan orang banyak, semakin pesat teknologi berkembang maka orang-orang dituntut untuk semakin keras mempelajari dan mengaplikasikan teknologi yang ada dalam kehidupannya. Seorang individu yang berada di lingkungan baru baginya pasti akan merasakan perbedaan teknologi yang berkembang di lingkungan tersebut, terlebih lagi apabila individu yang berasal dari daerah pelosok kemudian datang ke daerah yang cukup pesat perkembangan teknologinya.
·         Faktor geografis
Karena faktor geografis ini berkaitan erat dengan kondisi fisik lingkungan maka hal ini dapat diatasi dengan cara individu lebih menjaga kesehatan yang cenderung menurun ketika individu tersebut tinggal di suatu tempat tinggal yang baru, yang tentunya jauh berbeda dengan tempat tinggal semula. Pencegahan yang baik perlu dilakukan secara terus menerus agar individu tetap berada di kondisi yang prima dalam menjalani aktifitas sehari-hari.
·         Faktor bahasa keseharian
Untuk mengatasinya kelompok memberikan solusi diantaranya yaitu dengan menumbuhkan kemauan belajar bahasa kepada setiap individu ketika tinggal ditempat yang baru. Kemauan belajar bahasa tersebut bisa dilakukan dengan cara meminta bantuan kepada teman yang memang berasal dari daerah tersebut untuk mengajarkan bahasa keseharian di daerah tersebut.
·         Faktor ekonomi
Faktor ekonomi ini dapat diatasi dengan cara pengelolaan keuangan yang baik sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, agar individu dapat menyesuaikan pemasukan keuangan dengan pengeluarannya. Pada saat proses pendidikan alan lebih baiknya individu juga melakukan program saving money, untuk mengatasi kebutuhan tidak terduga.
·         Faktor adat istiadat
Pada dasarnya melekatnya kebudayaan terhadap seorang individu membutuhkan proses dan waktu, semua tidak terjadi begitu saja. Solusi menurut kelompok adalah individu harus lebih membuka dirinya terhadap adat istiadat, kebiasaan, tingkah laku yang umumnya terjadi dimasyarakat. Dengan cara tersebut diharapkan individu dapat lebih menghindari terjadinya culture shock/gegar budaya.
·         Faktor agama
Solusinya yaitu individu harus lebih meningkatkan sikap toleransinya antar umat beragama.

Masalah Penyesuaian Diri Dalam Lingkungan Budaya
          Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut  dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri.
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu primer terhadap penyesuaian diri. Penentu berarti faktor yang mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada proses penyesuaian diri. Penentu penyesuaian diri identik dengan faktor-faktor yang mengatur perkembangan dan terbentuknya pribadi secara bertahap. Penentu-penentu itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Kondisi-kondisi fisik, termasuk didalamnya keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar, dan system otot, kesehatan, penyakit, dsb.
2.      Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan intelektual, social, moral, dan emosional.
3.      Penentuan psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajarnya, pengkondisian, penentuan diri, frustasi, dan konflik.
4.      Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah.
5.      Penentuan cultural termasuk agama

Contoh :
·         Penyesuaian diri remaja dengan kehidupan disekolah
Penyesuaian diri remaja dengan kehidupan disekolah. Permasalahan penyesuaian diri di sekolah mungkin akan timbul ketika remaja mulai memasuki jenjang sekolah yang baru, baik sekolah lanjutan pertama maupun sekolah lanjutan atas. Mereka mungkin mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan guru- guru, teman, dan mata pelajaran. Sebagai akibat antara lain adalah prestasi belajar menjadi menurun dibanding dengan prestasi disekolah sebelumnya.
Persoalan-persoalan umum yang seringkali dihadapi remaja antara lain memilih sekolah. Jika kita mengharapkan remaja mempunyai penyesuaian diri yang baik, seyogyanya kita tidak mendikte mereka agar memilih jenis sekolah tertentu sesuai keinginan kita. Orangtua / pendidik hendaknya mengarahkan pilihan sekolah sesuai dengan kemampuan, bakat, dan sifat-sifat pribadinya. Tidak jarang terjadi anak tidak mau sekolah, tidak mau belajar, suka membolos, dan sebagainya karena ia dipaksa oleh orangtuanya untuk masuk sekolah yang tidak ia sukai.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja khususnya di sekolah adalah:
1.      Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “ betah” (at home) bagi anak-anak didik , baik secara social , fisik maupun akademis.
2.      Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak.
3.      Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, social , maupun seluruh aspek pribadinya.
4.      Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah belajar.
5.      Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
6.      Ruang kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
7.      Peraturan / tata tertib yamg jelas dan dapat dipahami oleh siswa.
8.      Teladan dari para guru dalam segi pendidikan.
9.      Kerja sama dan saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah.
10.  Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.
11.  Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian dan tanggung jawab baik pada murid maupun pada guru.
12.  Hubungan yang baik dan penuh pengertian antara sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat
·         Penggunaan Media Sosial
            Facebook adalah sebuah layanan jejaring sosial dan situs web diluncurkan pada Februari 2004 yang dioperasikan dan dimiliki oleh Facebook, Inc. Pada Januari 2011, Facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif. Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg bersama teman sekamarnya dan sesama mahasiswa ilmu komputer Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes.  Keanggotaan situs web ini awalnya terbatas untuk mahasiswa harvard saja, kemudian diperluas ke perguruan lain di Boston, Ivy League, dan Universitas Stanford. Situs ini secara perlahan membuka diri kepada mahasiswa di universitas lain sebelum dibuka untuk siswa sekolah menengah atas dan akhirnya untuk setiap orang yang berusia minimal 13 tahun.
          Studi Compete.com bulan Januari 2009 menempatkan Facebook sebagai layanan jejaring sosial paling banyak digunakan menurut pengguna aktif bulanan di seluruh dunia. Untuk media sosial, eksistensi Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi. Hingga saat ini Indonesia adalah negara dengan peringkat kedua pengguna Facebook terbanyak dengan lebih dari 36 juta user , yang tercatat dalam situs socialbakers.com. Peringkat pertamanya tentu saja diduduki oleh Amerika Serikat.
          Sejak dibentuk pada tahun 2006 oleh Jack Dorsey, Twitter telah mendapatkan popularitas di seluruh dunia dan saat ini memiliki lebih dari 100 juta pengguna. Semua pengguna dapat mengirim dan menerima kicauan melalui situs Twitter, aplikasi eksternal yang kompatibel (telepon seluler) atau dengan pesan singkat (SMS) yang tersedia di negara-negara tertentu. Situs ini berbasis di San Bruno, California dekat San Francisco, di mana situs ini pertama kali dibuat. 
              Pada media sosial Twitter, Indonesia juga termasuk salah satu negara yang banyak mendapat sorotan. Memang hampir tidak ada catatan resmi tentang peringkat negara dengan user terbanyak, karena pihak Twitter sendiri terlihat sangat tertutup dengan masalah ini. Tapi, banyak dan aktifnya user Twitter di Indonesia terbukti dengan seringnya Indonesia masuk ke dalam “Trending Topic”. Memang fenomena Twitter di Indonesia belum seperti Facebook. Namun trend penggunaan jejaring sosial ini di Indonesia masih sangat berpotensi untuk berkembang karena dalam siklus gegar budaya, penggunaan Twitter ini masih berada pada tahap awal.  

·         Contoh Lingkungan kerja (Sumber: Imam Kamarudin Saleh)
saya saat ini bekerja di Korindo, sebuah Holding company punya orang korea. Korindo itu lini usahanya banyak mulai dari plywood, timber plantation, kertas koran, truk dan bus, hingga stasiun TV. saya alhamdulillah ditakdirkan untuk jadi salah satu staff Purchasing di sana, tanggung jawabnya untuk mengatur masalah pembelian kebutuhan untuk pabrik Korindo Motors [yg memproduksi bus untuk trans jakarta].
Lupakan sejenak tentang perusahaan Korindo ini.  ada hal yg lebih penting untuk dibagi di sini. yah tentunya buat fresh graduate  seperti saya, dapat kerja itu hal yang menggembirakan dan sangat disyukuri. bagaimana tidak, dgn IPK yg pas-pasan, syukur alhamdulillah saya bisa dapat kerja tanpa harus menunggu waktu yg lama. namun setiap hal ada ujian yg menyertainya. ujian itu bernama culture shock dunia kerja.
saya sedang mengalami masa peralihan, culture shock dan semacamnya. peralihan dari zona nyaman mahasiswa ke zona yg penuh tantangan di dunia kerja. selayaknya manusia, pasti pengennya yg enak2 aja kan dalam hidupnya. klo perlu gak usah kerja tapi duit tetep ada. hehehe tp bukan kah hidup seperti itu bukan hidup yg sebenarnya, yg kemungkinan besar hanya ada di dunia bawah sadar atau angan-angan saja. realita di lapangan setiap angkatan kerja baru ini [seperti saya] yang memang tidak disiapakan sebagai tenaga kerja siap pakai dan siap guna akan mengalami culture shock dalam dunia kerja yang dinamis. mungkin ketika kuliah mahasiswa sering terlena oleh ritme kuliah yg cenderung teratur dan agak santai. tapi di dunia kerja [khususnya di perusahaan korea dan jepang] ritme kerja akan sangat dinamis, kadang pekerjaan itu ada dan menumpuk tapi juga kadang sama sekali gak ada. kadang kita di tuntut untuk kerja cepat kadang juga kita bisa nyantai senyatai-nyatainya. so perlu siasat yg baik supaya daily activity ada dan bisa dinilai baik oleh rekan kerja dan atasa kita.
Itu baru dari ritme kerja, belum lagi dari membangun komunikasi dgn atasan, rekan kerja, atau bahkan bawahan [biasanya sih seorang fresh graduate jarang yg punya langsung bawahan] akan menjadi ‘seni’ tersendiri yang akan dihadapi. bekerja di PMA (perusahaan modal asing) butuh memahami budaya orang asing atau expatriate di sana. ambil contoh di Korindo yg mayoritas orang korea, nah kita mesti tau nih gimana budaya orang korea. as we know that all man in south korea must join military training for 2 years. so efek dari wajib militer ini terbawa oleh mereka kedalam dunia kerja. mereka jadi lebih disiplin dan amat menghargai waktu. itulah kenapa mereka jalannya suka cepet, n suka nyuruh kita kerja cepet jg [curcol]. dan ada juga keburukan [menurut saya] dari wajib militer ini, yaitu senioritas.  orang korea juga gak suka dibantah di depan umum. Nah kalau kita sudah tau budaya mereka, karakter mereka maka kita juga harus bisa memposisikan diri kita sebaik mungkin dalam berinteraksi dgn mereka.
Kemudian dengan rekan kerja juga kita harus banyak berkomunikasi. krn bagaimanapun posisi kita itu masih newbie, jadi belum tau apa – apa.  maka kita harus rajin nanya, gak malu minta bantuan. tentunya dengan tahu etika sopan santun dan tahu timing minta bantuan yah jangan orang lagi sibuk kita minta bantuin lg. hehehe yah rekan kerja kita juga kan gak semuanya sarjana, apalagi yg udah senior2 nih kita juga mesti bisa menjalin komunikasi dengan baik. maklum bagaimanapun mereka mungkin seumuran dgn bapakk kita kan. Oia menjalin komunikasi juga mesti punya batasan yah, diusahakan jangan masuk ke ranah pribadi masing2.
culture shock yg kedua terkait dengan pola hidup. seperti pola makan, pola jam tidur atau istirahat juga olah raga. apalagi untuk yang bekerja di kantoran seperti saya ini, kebanyakan aktivitas kita selama 8 jam kerja akan dihabiskan di tempat duduk dan mungkin di depan komputer, jadi menjaga kesehatan mutlak dibutuhkan.

Penutup
Seiring dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang tenaga kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda, issue mengenai culture shock tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena culture shock bisa menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering melakukan aktifitas lintas budaya.
Usaha untuk mengatasi culture shock, akhirnya tidak hanya harus dilakukan individu secara perseorangan, tetapi juga perlu ditangani secara professional dan serius oleh instansi atau lembaga yang terlibat dalam pertukaran antar budaya. Misalnya saja di sekolah internasional, yang memiliki siswa-siswa dari budaya yang berbeda tampaknya perlu menyediakan tenaga konselor dan program yang terarah untuk membantu penyesuaian diri siswa-siswi yang berasal dari budaya yang berbeda. Perhatian juga diperlukan bagi perusahaan yang memiliki para ekspatriat ataupun mengirimkan karyawannya untuk ditugaskan di tempat yang berbeda dari kultur asalnya, dengan pemberian pelatihan, pemahaman dan training yang sesuai, demi tercapainya produktifitas kerja karyawannya karena terbebas dari culture shock. Pada akhirnya, usaha dari berbagai pihak diharapkan dapat membuahkan hasil yang lebih memuaskan.


Referensi:

·         Irwanto dkk. (1997). Psikologi Umum, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
·         Xia, Junzi. (1999). Analysis of Impact Culture Shock on Individual Psychology, Vol 1, No. 2.
·         Adler, P. 1975. The Transitional Experience: An Alternative View of Culture Shock. Journal of Humanistic Psychology 15, 13-23.
·         Chapman, A. 2005. Culture Shock and the International Sutdent “Offshore”. Journal of Research in International Education, 4, 23-42.
·         Furnham, A. & Bochner, S. 1986. Culture Shock: Psychological Reactions to Unfamiliar Environments. New York: Methuen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar